Mukadimah Majelis Masyarakat Maiyah 
“Waro' Kaprawiran”
Edisi Juni 2019

Teringat ku teringat Pada janjimu ku terikat Hanya sekejap ku berdiri Kulakukan sepenuh hati
Begitulah penggalan lirik lagu Sandaran Hati by Letto, dari beberapa sumber yang ada di Media sosial atau yang sejenisnya bisa didapat beberapa makna dari lagu tersebut, ada yang bercerita lagu tersebut bermakna Sebuah “cerita kemesraaan seorang hamba dengan TUHAN-nya” ada juga yang mengartikan cinta manusia laki-laki dan perempuan, namun belakangan ada yang mengartikan lagu tersebut adalah sebuah kisah “Pernikahan”. Memang begitulah, setiap individu memiliki maknanya sendiri-sendiri tinggal bagaimana kita menyikapinya, yang namanya kata-kata selamanya adalah kosong, makna hanya pada diri masing-masing.

Pada rutinan kali ini kami Majelis Masyarakat Maiyah Waro' Kaprawiran mengajak dulur-dulur semua untuk melingkar bersama, mencoba belajar mengikhlaskan hati untuk Allah SWT, menjaga kejujuran fikirannya, setelah sebulan penuh menjalani laku prihatin berpuasa, menahan dan membatasi konsumsi keduniaan. Mari kita duduk diskusi bersama dengan Tema “HONEYMOON”, bila melihat tema kali ini bayangan pertama yang terlintas dalam pikirian kita Honeymoon adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh pasangan yang baru saja menikah untuk merayakan pernikahan mereka. Pada dasarnya Honeymoon atau dalam bahasa Indonesia berarti Bulan Madu merupakan tamsil bagi orang yang baru menikah, yang mulanya mereka saling mencintai secara berlebihan, sehingga cinta mereka tampaknya akan mengalahkan pertengkaran apapun, sehingga masa ini disebut orang-orang biasa sebagai bulan madu.

Namun kali ini, kami mencoba memaknai Bulan Madu sebagai Bulan Haji, Haji merupakan puncak hasil dari proses kualifikasi diri seeorang muslim yang ditempuh melalui rutinitas intens peribadatan-peribadatan yang lain, dimulai dari sahadatain, kemudian shalat, lalu zakat, hingga puasa. Jika merujuk apa yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Nursamad Kamba, bahwa Rukun Islam merupakan hirarki urut-urutan sistematis yang berkesinambungan, seseorang sudah benar Sahadatnya, maka ia akan melaksanakan sholatnya dengan suka rela atas dasar kebutuhan, kemudian sholat yang baik mempunyai efek untuk mau menunaikan zakat, kemudian puasa di bulan Ramadhan, dan apabila mempunyai kemampuan akan melaksanakan Ibadah Haji.

Sejalan dengan hal tersebut, pernah dalam suatu diskusi Mbah Nun menyampaikan “Syahadat adalah memfokuskan diafragma idealisme hidup, Shalat mencahayai kejernihan, Obyektivitas akal, keseimbangan mental, ketulusan hati dan ketenteraman jiwa. Zakat melatih kesadaran bahwa harta yang kita miliki terdapat milik orang lain, Puasa membuat manusia jadi pendekar kehidupan dan Haji adalah madu dari semuanya.”

Pernah juga dalam suatu diskusi yang lain beliau menyampaikan bahwa Ada perlambangan atas makna dalam ibadah, pertama Sholat, ibarat air hujan (proses pencahayaan), Kedua Puasa, ibarat air arak (khamr) atau ragi (proses peragian), Ketiga Zakat, ibarat Air Susu, Keempat Haji, ibarat Air Madu. Madu bukan makanan bukan pula minuman, Haji pun adalah titik sublim dari seluruh proses peribadatan dan tradisi baik Manusia. "Menjadi madu" itu artinya punya kemanfaatan sosial, produktif dan kreatif bagi kemaslahatan umum.

Bukan untuk mencari siapa yang benar dan salah, namun lebih untuk mentadabburi setiap hal yang bisa menjadi bekal kita untuk terjun ke rimba raya kehidupan ini, bermodal kecintaan kepada Rasul terkasihNya semoga menjadi jalan RidhoNya hingga menembus Sidratul Muntaha. Sadari cinta, sadarkan cinta, kenali sejatinya aku dan kamu, lalu temui pendaran hijau itu di ruh tunggalmu.