============

By. Azzam 

Ada baiknya untuk sejenak saja kita menarik diri dari gemuruh pikuk panggung kontes para Paslon yang dengan dada membusung maklumatkan diri mampu atasi segenap masalah yang mendera negeri ini untuk tampil memimpin. 

Siapakah kita diantara gemuruh para epigon, volunteer, pengamat, kaum oportunis atau bahkan sekedar warga negara biasa yang memiliki hak pilih itu? 

Apakah kita termasuk golongan orang-orang yang mampu melihat dengan jernih rekam jejak setiap calon sehingga kita terhindar dari salah pilih dan kelak tak akan kecewa? 

Apakah kita termasuk golongan orang-orang yang tak pernah tahu menahu tentang paslon yang disuguhkan di atas pentas dan sekedar menyandarkan pilihan hanya pada faktor suka dan tidak suka menurut selera saja? 

Kita bela mati-matian yang kita sukai dan kita kutuk habis-habisan siapa yang tak cocok menurut pandangan dan kita benci? 

Apakah kita termasuk golongan orang-orang dengan ambivalensi sikap yang terus-menerus dikepung dan dirundung bingung tak karuan untuk sekedar menentukan kemana dukungan harus diberikan? 

Terlebih saat tahu bahwa bagaimana kepemimpinan negeri ini harus diserahkan kepada segelintir petinggi partai untuk memilihkan siapa gerangan yang berhak dan layak untuk dicalonkan, entah berdasar pada apa saja rinciannya selain elektabilitas, meski tanpa kapabilitas? 

Juga saat tahu bahwa petinggi partai tidak lain adalah para tiran yang mengidap megalomania syndrom dan terus jumawa ingin melanggengkan cengkeraman kuku-kuku kekuasaannya yang tajam melalui dinasti yang dibangun secara diam-diam.  

Atau bahkan dengan nyata di depan mata kita, bahkan melalui tindakan menganulir undang-undang yang kita sepakati bersama ? 

Saat tahu bahwa partai politik tak lagi soal ideologi dan garis perjuangan berkehidupan kebangsaan dan tak lagi sebagai kawah condrodimuko, tempat menempa para kader pemimpin untuk melahirkan calon-calon yang kelak memangku kebijakan nan arif di persada bumi pertiwi ? 

Saat tahu bahwa ia kini menjelma menjadi hanya  sekedar lipstik dan gincu penghias dan pemerah bibir bagi para anggotanya atau siapapun bisa memakainya sesuai kebutuhan dan keinginannya. 

Saat tahu bahwa semua perdebatan dan perbalahan tentang program calon pemimpin adalah bullshit yang - dalam kenyataannya kelak- tak pernah menyentuh akar masalah pelik dan penyakit kronis yang mendera negeri ini? 

Saat tahu bahwa semua sitegang dalam kampanye hanyalah sekedar luapan emosi sesaat dan buncahan nafsu untuk berkuasa yang akan berakhir pada waktunya.

Berikutnya kita dihadik rasa kecewa yang menyayat saat tahu bagaimana mereka saling berbagi kue besar kekuasaan itu dengan ngopi dan kongkow bersama sambil potong cerutu dilanjutkan dengan aneka kesepakatan mengerikan di bawah meja.

Apakah kita adalah para fatalis, kaum pengharap belas kasih Tuhan semata yang selalu termangu di sudut ruang dan tak pernah punya inisiatif merekayasa demi lahirnya seorang Satrio dari rahim sejarah negeri yang loh jinawi ini?

Negeri yang besar dengan kekayaan melimpah yang harus dikelola demi kemakmuran dan kesejahteraan segenap rakyatnya.. 

Apakah kita termasuk golongan orang-orang pertapa di puncak gunung yang sekedar fokus pada kasampurnaning diri dan tak peduli dengan pikuk nan hiruk perilaku manusia dalam  bertengkar demi berkuasa?

Tak peduli bagaimana mereka saling berebut kekayaan yang dikandung dalam perut bumi. 

Berlomba ber-kong kalikong para cukong dan pemburu rente mengeksploitasi dengan rakus  kandungan bumi pertiwi melalui aneka kebijakan yang merugikan bangsa sendiri.

Tak peduli lagi bagaimana ulah manusia mempermainkan nasib saudaranya sendiri melalui aneka polesi.

Tak peduli dengan hilangnya sekian juta lahan pertanian tapi masih dengan kepala tegak dan tangan mengepal teriakkan ketahanan pangan. 

Tak peduli dengan maraknya aneka penjarahan dan destruksi terhadap alam, sedang mereka hingga serak tetap berteriak tentang aneka kebijakan berwawasan dan ramah lingkungan, ekologi, dan kelestarian.. 

Hmm.... 

Atau apakah kita adalah roh-roh gentayangan yang selalu tertawa cekikikan melihat mutasi gen Kampret yang Mencebong atau Cebong yang mengKampret? . 

Atau kita  bahkan terbahak saat menyaksikan bagaimana "mesranya" perkawinan paksa dua ordo yang berbeda Cebong dan Kampret demi wilayah kekuasaan mereka berdua ?

Walau dalam puncak gelak kita sejatinya selalu merindu bahkan dari dalam relung pada auman si Raja Hutan, si penguasa yang sesungguhnya dan yang berhak atas segala titah dalam menjaga ekosistem rimba kita, tempat dimana kedua kaki kita berpijak. 

*Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi*


Semoga siapapun yang kelak berkuasa tak lagi mempermainkan ibu pertiwi. Jika saja kita benar-benar sadar bahwa kita sesungguhnya sedang mencari sosok Pemimpin dan Bukan Penguasa. 

Pemimpin itu selalu penuh Hikmah, sedang Penguasa adalah identik jumawa, bengis dan penuh amarah. 

Hehe..