Tresno atau yang kita kenal dalam keseharian sebagai cinta merupakan ungkapan yang sering kita dengar, meskipun pengetahuan kita terhadap hakikat dan makna cinta masih terbatas. Boleh jadi kita baru menyentuh kulit luarnya saja, tanpa pernah mengerti kedalamannya.
Berbagai definisi muncul sebagai usaha menjelaskan hakikatnya, tapi sering malah membingungkan. Tak jarang peradaban manusia mengkerdilkan dan mengkamuflase makna “cinta” dengan memakai kata tersebut tidak seperti yang dimaksudkan. Seperti pada ungkapan seorang pemuda “Ghulam” I love You saat bertemu dengan gadis rupawan, padahal baru saja ketemu. Boleh jadi benar yang terjadi bahwa saat menatap gadis itu sang pemuda dialiri oleh Allah SWT dalam hatinya perasaan “hubb” (baca tresno). Karena kadang cinta tak mengenal alasan mengapa perasaan itu ada, ia memang seringkali muncul begitu misterius.
Namun, jika kita lihat semua pemuda mengungkapkan itu ke siapapun wanita yang dikenal, bisa ditebak ia pasti sedang ngegombal dan menginjak-injak makna sakral cinta. Manusia benar-benar telah melakukan pendangkalan yang menjijikkan, dengan terus mereduksi makna cinta sebatas rasa suka mendalam terhadap lawan jenis apalagi saat dikaitkan dengan penumpahan libido.
Lepas dari segala perbedaan dalam memaknai kata cinta, hubb, tresno dst, bahwa dengan cintalah alam semesta ini gumelar, peradaban manusia bisa berkesinambungan, harmoni dan orkestra semesta raya tetap terjaga. Semesta Raya tergelar karena Allah cinta untuk dikenal oleh para makhluknya, lebih-lebih oleh manusia.
Manusia diciptakan dengan kesempurnaan yang ada karena cinta-Nya kepada kita, diberikan kelengkapan perangkat agar kita bisa menjalankan fungsi kekhalifahan sekaligus kedudukan sebagai hamba yang harus mengabdi.
Harmoni semesta raya mulai dari dzarroh atau atom sampai galaksi tidak berinteraksi satu dengan yang lain kecuali dalam rajutan dan bingkai cinta yang menakjubkan. Cinta matahari ke bumi yang dengan sinarnya memungkinkan adanya kehidupan, kesetiaan bumi untuk mengolah semua pemberian dari manapun untuk disuguhkan kembali kepada manusia dan makhluk lain di hamparannya. Cinta bumi untuk mendaur ulang segala sampah peradaban manusia yang dikembalikan menjadi sesuatu yang berguna.
Anugerah luar biasa kita sabagai manusia yang dilengkapi dengan perangkat Hati sabagai sumber dan ladang cinta. Namun ke siapa, apa dan kemana saja benih-benih cinta kita taburkan, kita tanam dan kita tumbuhkan dalam hati kita? Sekedar kepada wanita pujaan yang membuat mata kita berbinar, kepada sesama makhluk hidup yang lain, atau bahkan juga kepada Sang Maha Cinta yang mengguyurkan segalanya kepada kita?
Sabagai manusia, kita pasti cinta kepada semua yang membuat kita senang dan bahagia adalah naluri atau fitrah insani. Cinta kepada harta benda, anak, pangkat kekuasaan, perhiasan dan semua bentuk keindahan dunia lainnya.
Namun semua kecintaan kita terhadap hal-hal diatas harus menjadi terminal sementara dan sekedar sebagai “washilah”, bukan “ghayah”, agar kita tidak menjadi manusia-manusia yang tertipu. Semua sarana yang harus mengantarkan kita menjadi manusia-manusia cinta. Manusia yang benar-benar mengerti kepada apa dan siapa harus mencintai. Ditengah peradaban kemanusiaan yang semakin pudar rasa cinta terhadap sesama, terhadap alam yang menyediakan segala keperluan kita, terhadap Rasul suluh zaman peradaban, mari semai benih-benih cinta di ladang hati kita.
Jika sudah tumbuh dan berkembang benih-benih cinta yang kita tandur, rawat dan siapkan beribu kewaspadaan agar kelak bisa membedakan mana cinta yang membuat kita mati terbunuh sia-sia dan yang membuat kita bahagia, bahkan mengantarkan pada kebahagiaan hakiki.
Cintai apa saja sesukamu He…para waro’i, yang menurutmu bisa membahagiakanmu, tapi ketahuilah bahwa engkau akan berpisah dengannya. Dan mencintai Sang Maha Pemilik dan Maha Cintalah seluruh rasa cinta di hati itu harus kau labuhkan.
Wallahu a’lam bisshwab.