Kebiasaan dhidhis (petan) sudah dilakukan sejak lama. Hal ini dapat dilihat pada sebuah relief Candi Surowono di desa Canggu Kecamatan Pare Kabupaten Kediri. Relief dimaksud menggambarkan tentang dua orang dalam posisi duduk di bawah pepohonan rindang. Apabila menilik busana dan fisiografisnya, keduanya merupakan warga pedesaan. Rambut salah seorang darinya tengah didhidhis oleh seorang lainnya dengan menggunakan semacam tongkat kecil berujung meruncing guna penyingkapkan helai-helai rambut dalam rangka mencari dan menemukan kutu rambut. Sementara tangan lainnya tengah siaga untuk bergegas menangkap si kutu bila teryata tampak di kulit batok kepala pada sela helai-helai rambut yang disingkapkannya.
Dhidhis  bukan hanya terdapat di dunia manusia, namun pada dunia binatang yaitu dhidhis pada dunia kera. Namun, dhidhisnya manusia bukan sekedar untuk membebaskan dari serangan kutu yang menggatalkan rambut, namun interaksi sosial turut terbangun antara pelaku dhidhis (petan). Petan dalam mencari dan menemukan kutu (tumo) bukanlah pekerjaan mudah. Untuk itu, kepada sing metani dibutuhkan atau dipersyaratkan untuk memiliki jiwa ketelatenan dan kesigapan. Dhidhis (petan) karenanya bisa dijadikan sarana uji ketelatenan, kecermatan maupun kesigapan. Kata ‘petan’ dalam makna itu pun mengalami perluasan arti menjadi “metani diri sendiri”, yakni menilisik secara cermat dan jujur kemungkinan adanya kesalahan diri. 
Sama halnya dengan dhidhis, metani hati dan pikiran juga sangat sulit bahkan njlimet (bahasa Jawa). Karena apa yang menjadi parasit maupun kotoran hati dan fikiran tidak bisa dilihat. Membersihkan hati dan menjernihkan fikiran menjadi sangat sulit karena membutuhkan olah rasa dan kewaspadaan. Kata Al Ghozali kotorannya hati itu seperti satu titik kotor yang menempel di kaca, kalau masih awal-awal segera dibersihkan akan sangat mudah, tapi kalau dibiarkan lama apalagi terus ditambah kotoran lagi lama-lama kaca akan gelap dan susah dibersihkan. Akhirnya yang gelap dianggap terang karena kita tidak pernah mengerti terang. Jadi yang jelek kelihatan jadi bagus, Karena belum pernah melihat cahaya yang baik yaitu cahaya kebaikan. Sehingga yang jelek inilah yang dianggap yang bagus karena batinnya sudah gelap. Kotoran yang mengerak membersihkannya semakin susah. Bagi orang pintar sesuatu yang salah bisa diolah menjadi benar. Tapi hati tidak bisa dibohongi kalau salah dia akan ngomong salah, kecuali dia sedang gelap jadi tidak bisa melihat mana yang sejati, hati yang gelap terhijab oleh amal-amal yang buruk.
Membersihkannya Memang agak susah, tetapi kata Syeh Abdul Qodir Jaelani. “mari DIUPAYAKAN”. Yang pertama: cari pengetahuan yang luas yaitu ilmu yang berhubungan dengan pembersihan batin. Kalau sudah dapat pengetahuan tersebut diamalkan. Tidak ada gunanya ilmu yang menumpuk kalau tidak diamalkan, hidup kita tidak akan naik kualitasnya. Mendapatkan ilmu kemudian diamalkan setelah itu digunakan untuk menaklukkan ego kita, menaklukkan diri karena diri harus di bawah kendali hati yang jernih yang bercahaya dan akal dijadikan pendukungnya. Akal itu kalau ibarat prajurit adalah pasukan yang paling kuat, dipakai untuk kebaikan ya kuat, untuk kejahatan juga kuat. Banyak orang-orang pintar membuat sesuatu yang sebenarnya kelihatan keliru, tetapi bisa dibuat argumen-argumen bermacam-macam sehingga seolah-olah jadi benar, itulah akal. Cara Metani akal atau pikiran yaitu dengan cara berfikir jujur, melakukan kegiatan yang positif dan menghindari hal-hal yang memicu pikiran kotor. 
Manusia pada fitrahnya diciptakan oleh tuhan mempunyai banyak kekurangan atau kesalahan yang terkadang secara sadar maupun tidak sadar sering kita lakukan, kesalahan-kesalahan atau kekhilafan dalam bentuk hubungan terhadap sesama makhluk tuhan yaitu manusia, atau bahkan kekhilafan terhadap sang Kholiq, yaitu Allah SWT, dalam hal ini ada korelasi antara dhidhis dan kesalahan kesalahan tersebut,  maka diperlukan muhasabah pada diri kita sendiri khususnya dengan cara memposisikan diri kita sebagai manusia dengan fitrahnya serta ndhidhis-i  segala aspek yang ada dalam kehidupan kita. Menurut Cak Fuad, Orang yang terus-menerus mau melakukan muhasabah, ia akan tahu kekurangan dan kelemahan dirinya. Dan ia akan melihat juga keterbatasan-keterbatasan dirinya. Kalau kita tidak mau muhasabah, kita tidak akan tahu kelemahan kita, sehingga kekurangan kita tidak akan hilang. Kecuali atas izin Allah.
Mari kita duduk dan melingkar bersama di penghujung tahun ini, agar kita bisa ndidhis-i diri kita, bermuhasabah serta mawas diri untuk menyongsong tahun yang baru agar menjadi manusia yang kaafah, yaitu menjadi seorang muslim yang mukmin seutuhnya.