Mukadimah
Majelis Masyarakat Maiyah
Waro’ Kaprawiran Edisi Juli 2019
Bulan Dzulqa'dah adalah
Bulan waktunya duduk-duduk, karena diambil dari kata 'Al Qa'dah' yang artinya
duduk, memang penamaan bulan pada zaman dahulu diambil dari musim dimulai dari
bulan Ramadhan yang artinya panas sangat terik (musim panas) kemudian bulan Syawal
yang artinya meningkat (tingkat kepanasanya), hingga puncak panasnya pada bulan
Dzulqa'dah pada bulan itu orang sudah tidak berani keluar rumah karena saking
panasnya, sehingga disebut dengan bulan Dzulqa'dah (duduk/berdiam diri). namun
hal itu terjadi pada waktu musim masih tertib, dan sekarang musim sudah agak
tidak tertib, bahkan sebagian orang menganggap
bahwa saat ini sudah mendekati zaman akhir, karena banyak musim yang
tidak lagi sesuai dengan bulanya, atau mungkin ada hubungannya juga dengan
keadaan manusianya sendiri yang sudah tidak sesuai dengan fitrahnya/kodratnya
(aslinya).
Bila dalam tradisi Arab dahulu
bulan
Dzulqa'dah ada larangan untuk melakukan gencatan senjata atau ditiadakan
peperangan, sama halnya dengan tradisi di Indonesia, khususnya tradisi
yang ada Jawa . Dalam tradisi Jawa ada larangan melakukan kegiatan
bepergian jauh maupun hajatan seperti hajatan pernikahan hingga khitanan. Bulan
Dzulqa'dah
atau yang sering disebut oleh masyarakat Jawa dengan bulan “SELO” diyakini
sebagai bulan keburukan. Hal ini merujuk dari kata “Selo” sendiri, dalam
tatanan bahasa Jawa sering di temui istilah “KeretaBasa” yang
memungkinkan mengartikan makna sebuah kata dengan menguraikannya. Misalkan kata
gedhang (pisang) dalam aturan KeretaBasa diartikan sebagai digeget bar madhang
(dinikmati setelah makan). Sedangkan “SELO” diuraikan menjadi seselane
olo atau kesesel
barang olo. Kedua makna dalam keretabasa ini menunjukkan bahwa bulan Selo berkaitan dengan barang
olo (kejelekan/keburukan).
Selain
mengartikan bulan Selo sebagai bulan keburukan masyarakat Jawa juga mengaitkan
kata selo dengan “SILO” atau duduk bersila, SILO atau duduk bersila ini
diartikan sebagai kegiatan duduk tafakkur untuk melakukan muhasabah atau
menghitung dan melihat kembali amalan-amalan yang telah dilakukan oleh jiwa,
hal ini dilakukan sebagai jalan pembersihan diri. maka tak salah bila
dibeberapa desa kecil yang ada di Jawa jika
telah memasuki bulan Dzulqa'dah banyak
kita temui kegiatan seperti Wayangan,
Pengajian, atau kegiatan lain yang dibungkus dengan tema “Bersih Desa”. Hal ini
dimaksud sebagai peringatan dan upaya pembersihan desa dari segala macam hal
buruk dan juga sebagai wujud syukur kepada Yang Maha Esa.
Dalam
suatu gerakan, duduk atau pun bersila bukan berarti berhenti. Seperti halnya
dalam penyebutan gerakan dalam sholat sendiri, penyebutan duduk iftirosy
sering di sebut sebagai “gerakan duduk diantara dua sujud” bukan kok “berhenti
duduk diantara dua sujud”, hal ini tejadi karena dalam duduk iftirosy terdapat
sikap/patrap yang perlu dijaga, bagaimana posisi kaki kanan maupun kaki
kiri yang benar sesuai dengan hukum fiqih yang ada, selain itu kesadaran sikap
atau patrap sendiri adalah pondasi utama dalam penentuan posisi bagaimana kita
bersikap kepada Allah SWT. Jangan sampai kita melalaikan sikap dan posisi kita
ketika melakukan sholat, yang berarti sholat kita menjadi sambil lalu.
Pada
dasarnya semua hal itu baik asal tempat dan waktunya tepat, pemahaman tentang
bulan yang diyakini oleh masyarakat pun merupakan sebuah ilmu, sedangkan ilmu adalah
tempat untuk mencari tau tentang segala hal, dan ilmu juga yang menempatkan
segala hal itu lebih tepat, berlaku juga dalam pemahaman, tidak semua pemahaman
itu bersikap kognitif, pemahaman pun tidak selalu melalui kata, pemahaman rasa
dan pengalaman itu yang lebih mendalam. Hidup itu harus tau kapan harus ngegas
kapan harus ngerem, ngegas ilmu ngerem nafsu. kapan kita mesti mencepatkan reaksi
kita. kapan kita mesti men-slow-emotion kita.
Maka
dari itu kami Majelis Masyarakat Maiyah Waro’ Kaprawiran mengajak dulur-dulur
semua untuk duduk melingkar bersama, duduk, bersila, menata kembali sikap/patrap
kita sebagai Basyar, Ins, Insan, Maupun Nas. Dengan tema “Slow-e-motion”,
secara bahasa Slow yang berarti lambat, sedangkan emotion
merupakan reaksi terhadap seseorang ataupun kejadian, secara lengkap bisa
diartikan memperlambat reaksi kita terhadap seseorang maupun kejadian, cekak aos atau bahasa pendeknya
pengendalian diri.
Belakangan
ini sangat sering kita jumpai kejadian yang berakibat hukuman penjara atau
sejenisnya dikarenakan kurang bisa mengendalikan diri, terlalu tergesa-gesa
dalam menyikapi segala hal. Misalnya update status pada akun media sosial yang
menceritakan tentang suatu pelanggaran hukum kepada kita atau saudara kita,
namun pada akhirnya justru kita sendiri yang terkena hukuman karena dianggap
melakukan pelanggaran Hukum ITE tentang pecemaran nama baik orang yang
melakukan pelanggaran.
Hukum tetaplah hukum,
hukum dibuat untuk menentukan keadilan, dan keadilan itu paradigma pas,
paradima hak sedang dalam agama diketahui di atas keadilan ada keluhuran, kemuliaan,
ataupun kebajikan. Karena pada dasarnya adil dan ikhsan berada pada level yang
berbeda.
Sosial Media