Selayaknya masyarakat
Jawa yang memberi awalan kata untuk sebuah kata kerja, ditambah dengan logat
masyarakat Jawa yang khas, munculnya istilah "Nyadran" bisa jadi
berasal dari kata "Sraddha". Sebuah upacara penghormatan kepada
leluhur yang sudah meninggal, di zaman Kerajaan Majapahit. Bahkan, bisa jadi
telah ada sebelum Hindu-Budha masuk, karena masyarakat Jawa Kuno, para pengamal
agama Kapitayan, meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih
ada.
Secara bahasa, sebagian
orang berpandangan, itu berasal kata "Sraddha" yang dalam bahasa
Sanskerta, yang secara harfiah berarti tindakan apa pun yang dilakukan dengan
segala keyakinan. Ada pula yang menyatakan berasal dari kata kerja dalam Bahasa
Jawa, (Sadran = Ruwah, Syakban) yang juga dimaknai dengan Sudra, menyudra, yang
berarti berkumpul dengan orang awam dalam rangka mengingatkan kita akan hakikat
bahwa manusia pada dasarnya sama. Disisi lain juga ada yang mengatakan bahwa
"Nyadran" berasal dari kata "Sodrun" yang berarti Dada atau
Hati.
Pada perkembangannya,
seiring dengan masuknya berbagai macam agama di Pulau Jawa, ritual inipun
mengalami perubahan-perubahan bentuk, berakulturasi, tanpa kehilangan esensi
mengungkapkan rasa terima kasih kepada leluhur.
Pada komunitas Jawa
Islam, "Nyadran" biasanya dilakukan dalam rangka menyambut bulan
Ramadhan. Dilaksanakan di setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya
bulan Sya’ban (Ruwah). Dilakukan dengan bentuk slametan, membersihkan makam,
dan kirim do'a.
Dari sedikit penjelasan
singkat di atas, semoga hari Sabtu (27/4) esok, kita bisa menemukan ketepatan
dalam memaknai "Nyadran", sehingga mampu kita jadikan bekal dalam
menjalankan ibadah puasa Ramadhan. "Allahumma baarik lana fi Rajaba wa
Sya’bana wa ballighna Ramadhana".
Sosial Media