(Mukadimah Waro’ Kaprawiran Edisi April 2019)
Kehidupan kita sangat erat hubungannya dengan yang namanya
“Kompetisi” sehingga urusan “Kalah dan Menang” menjadi prioritas dalam setiap
tindakan, namun sayangnya kehidupan yang serba kompetitif ini tidak didukung
dengan pemahaman dari hakikat kemenangan ataupun kekalahan. Yang kita pahami
sejak dulu adalah yang namanyanya menang adalah mengalahkan lawanya meskipun
diperoleh dengan melemahkan ataupun menjatuhkan pihak yang kalah.
Sudah sepekan ini, kita sebagai Bangsa Indonesia sedang
mengadakan pesta Demokrasi besar-besaran, untuk menentukan siapa yang akan
mewakili rakyat dan memimpin negara ini 5 tahun kedepan. Dalam hal ini kami
mencoba mengajak sedulur semua untuk meminggirkan sejenak urusan kalah dan
menang, sebab kehidupan ini sangat luas, bukan hanya urusan kalah dan menang,
masih banyak hal-hal yang sangat penting dan harus kita lakukan untuk terus
berkembang dan mewangi.
Melihat momentum saat ini, mestinya kita memasuki pada
tahap “Menahan” menahan dari uforia kemenangan yang berlebihan dan kesedihan
kekalahan yang menyakitkan, karena perjalanan panjang bangsa ini masih terus
akan berlanjut. Seperti dalam kisah perjuang Nabi Muhammad dalam perang Uhud,
ketika pasukan Nabi sudah merasa menang dalam perang tersebut dan meluapkan
kegembiraanya dengan berebutan harta rampasan perang, justru saat itu menjadi
titik kelengahan pasukan Nabi dan kemenangan yang sudah berada didepan mata
justu berbalik menjadi kekalahan.
Kisah lain dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 249, yang
artinya: Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata:
"Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di
antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada
meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku".
Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka
tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi
sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan
kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya". Orang-orang yang
meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi
golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar".
Bedanya kisah-kisah tersebut di atas dengan bangsa kita
saat ini adalah kita tidak sedang berperang dengan angkat senjata, tapi kita
sedang “berperang” dengan diri kita sendiri, berperang melawan hawa nafsu,
melawan kebodohan dan kesempitan berpikir kita. Jadi ukurannya bukan lagi kalah
dan menang, akan tetapi apakah kita menjadi lebih baik dari diri kita
sebelumnya atau malah lebih buruk. Yang menjadi prioritas kedepan bagi Bangsa
kita adalah bersama-sama Gotong-royong dengan Kerja keras disertai kesabaran
untuk menjadikan Negara kita “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”.
Dalam kalangan masyarakat islam khususnya di Jawa “menahan”
dibungkus dengan epik dengan tradisi “MEGENGAN”, megengan adalah upacara
simbolik yang digunakan sebagai penanda bahwa manusia akan memasuki bulan
Puasa. Ada yang mengartikan Megengan dengan Meng-Ageng-ageng, artinya
membesarkan atau menyambut dengan besar-besaran, suka cita akan datangnya bulan
Suci Ramadhan. Megengan secara lughawi berarti Menahan, misalnya dalam ungkapan
“megeng nafas”, artinya menahan nafas, “megeng hawa nafsu” artinya menahan hawa
nafsu dan sebagainya, yang di dalam konteks Puasa adalah menahan hawa nafsu
selama bulan puasa, baik yang terkait dengan makan, minum, hubungan seksual dan
nafsu lainnya. Nafas Islam memang sangat kentara di dalam tradisi-tradisi
leluhur kita, dan sebagaimana diketahui bahwa Islam memang sangat menganjurkan
agar seseorang bisa menahan hawa nafsunya.
Sosial Media