Gembrung, sebuah kitab hidup yang kini kian langka saja pelestarinya. Ditengah arus modernisasi yang cenderung destruktif, dan kekayaan nilai yang tersirat, kiranya "eman" jika kita tidak mau belajar dan ikut melestarikan. Bukan hanya soal alat musik dan syair, lebih jauh lagi ada aspek sejarah, waktu pementasan, lagu, nada, dll.

Sabtu, 12 Januari 2019 ini, kita akan sinau bareng, ngaji bareng, sarasehan, terkait hal apapun tentang Gembrung bersama "mbah-mbah" kita. Dilain karena memang usia para seniman Gembrung ini tak lagi muda, siapa tahu "mbah-mbah" kita yang bersemayam dibelakang masjid -yang salah satunya adalah mertua Senopati Mataram, yang sekaligus Bupati Madiun Pertama- ini bisa hadir, minimal hadir dibenak siapapun yang hadir di malam minggu nanti.

Dulu, orang sangat marah ketika leluhur dihina, karena ini urusan martabat. Kita mengenal idiom "mikul dhuwur mendhem jero". Hari ini, masyarakat modern terkesan biasa, bahkan cenderung meremehkan soal itu, bisa jadi itu adalah indikator, bahwa memang tak banyak yang masih "ngugemi" bekal-bekal yang leluhur persiapkan untuk generasi setelahnya. Bicara budaya, pasti bicara masa depan. Akankah kita dikenal luhur seperti halnya kita mengenal leluhur kita, atau kita malah dikenal "asor"??

Semoga acara di bulan pertama di tahun baru ini bisa menjadi energi yang terbarukan untuk keistiqomahan kita mengarungi tahun ke empat, dan seterusnya.