Sebagai seorang yang kaya raya, dia bersyukur dengan cara memerdekakan tetangganya yang masih satu kawasan dengan tempat tinggalnya. Yang dia syukuri bukan kesuksesannya menjadi seorang yang kaya raya. Yang dia syukuri adalah kepercayaan Tuhan terhadap dia. Bersyukur dengan terpilihnya dia sebagai pemangku amanah untuk semesta. Amanah untuk wilayah dimana dia diperjalankan, ditempatkan.

Dia selalu berdo'a untuk meminta cukup. Bukan tercukupinya segala kebutuhan, tapi yang diminta adalah kesadaran untuk senantiasa merasa cukup dengan keinginan-keinginan fiksi yang menjelma "superhero" kebutuhan. Wisanggeni. Dia percaya Tuhan bertanggungjawab menjamin hidupnya.

Tekadnya adalah "sak derma nglampahi, ngawula marang kawulane gusti, memayu hayuning bawana". Hatinya selesai, dia "ora nggrangsang". Dia sangat "baper" dengan penderitaan sesama.

Tak hanya samudera dengan kelapangannya, dia sangat "mbanyu". Syukurnya tak terhenti pada ucapan "andulamin". Semuanya adalah titipan, semuanya harus dialirkan supaya tidak tergenang. Bukan hanya harta, bahkan ilmu, hingga energi -gula darahnya- pun dialirkan. Stroke, gagal jantung, tak berani mendekat. Jangankan diabetes, obesitas pun memboikot dirinya.

Wah wah wah,, sepertinya dia bukan manusia. Atau malah kita yang bukan manusia?? Siapa juga yang peduli,, kelihatanya juga mustahil ada manusia seperti itu.

Mitra Abdul Azis