•    •  Dibaca normal 7 menit
Al-Qur`an yang Terpetik

Setelah menulis Daur II-318 dengan judul Melingkarkan Cincin pada tanggal 2 Maret 2018, Cak Nun lantas menulis Daur berikutnya dengan judul Telaga Cahaya. Saya mbatin, setelah cincin dilingkarkan dengan pengayoman, mungkin langkah berikutnya adalah bersama menuju ‘Telaga Cahaya’. Men-cincin-i, mengayomi, memeluk, menggandeng bersama-sama dan dibawa ke ‘telaga’ yang ‘bercahaya’. Barangkali demikian maksudnya. Wallahua’lam bish-showab.
Setelah tulisan Daur II-319 tersebut terbit, saya coba cek berkali-kali hari demi hari di caknun.com, ternyata ‘Telaga Cahaya’ adalah Daur terakhir yang bisa saya temui di sana. Tertanggal 3 Maret 2018. Lalu selepas tanggal itu beliau sepertinya tidak melanjutkan Daur kembali. Di Daur ke-319 ini, saya merasa tulisan beliau cukup singkat, tidak seperti pada Daur-Daur sebelumnya. Mungkin tampak agak panjang karena ada beberapa tulisan Arab di situ. Dan tertulis dengan pola tertentu di mana pada setiap ayat akan diselipkan lafadz Tahlil dan Takbir setelahnya.
Jika dilihat sekilas, tulisan-tulisan Arab dalam Daur tersebut menjadi semacam mantra atau doa tertentu. Terlebih saat membaca bait pertama. Saat satu ayat tersebut dibacakan maka satu anak panah melesat langsung menancap di tubuh Markesot. Membuat saya yakin bahwa tulisan-tulisan Arab tersebut adalah jenis mantra tertentu, di mana lawan merasa gerah saat mantra itu terucap, sehingga harus dibalas luncuran panah setiap satu ayat dibacakan. Dan pada ‘cerita’ di Daur ini, Markesot tak peduli, hingga seribu panah bersarang di tubuhnya tetap bersikukuh membaca ayat-ayat tersebut.
Gusti Pengeran Nyuwun Ngapuro! Apa ini maksudnya? Saya menjadi emosional membacanya. Ngeri! Dan entah kenapa perasaan saya ikut terluka. Siapa gerangan si pemanah ini. Dan mengapa dia sangat takut akan ayat-ayat tersebut. Apa isi, apa makna ayat-ayat tersebut sehingga harus ada seribu panah yang diluncurkan untuk Markesot? Aaarggh…..kepalaku pening! Dirundung penasaran. Dirundung rasa ngilu dengan panah-panah itu. Sehari dua hari saya coba lupakan. Tak bisa. Seolah panah-panah itu justru sekarang memenuhi kepala saya. Meminta penjelasan dalam diri saya sendiri. Semakin saya berusaha melupakan semakin dalam panah itu tersesat di kepala saya. Gustiii!
Akhirnya dengan terpaksa saya hubungi seorang kawan, ibu muda yang baru saja melahirkan. Kali ini terpaksa saya ganggu. Jika ini bukan bahasa Arab mungkin saya tidak akan menggangunya, tapi ini bahasa Arab. Saya sungguh tak paham, sungguh penasaran. Dan penasaran ini menyiksa sekali. Karena pada Daur-Daur lain mungkin bisa saya maknai maksudnya, walau pemahaman versi saya. Kali ini ada misslink. Kali ini ada ‘sesuatu’ yang menggangu pikiran dan hati saya. Saya tak sanggup hanya memendamnya saja. Saya harus tahu ada pesan apa di Daur ini. Harus! Membayar sulit tidurku dan kecamuk tak teridentifikasi di dada.
Setelah dua hari saya menunggu balasan terjemahan bahasa Arabnya dengan harap-harap cemas, ada WA masuk.
Katahe PR damel kulo Umm…,” (banyak sekali PR untuk saya) begitulah balasan dari Dik Naz lewat WA. Saya meringis sambil garuk-garuk kepala.
“Kau tak tahu PR kecamuk di batinku dik…,” dalam hati saya balas.
Eh belum saya balas lewat WA, Dik Naz si ibu muda tukang terjemah sudah mengirimkan terjemahan bahasa Arab tersebut. Ternyata dari kesemuanya adalah ayat-ayat Al-Qur`an. Terima kasih saya haturkan buat dik Naz saat itu. Insyaallah misteri di Daur II-319 akan saya kuak. Semoga bisa kita ambil ilmu dan pesannya bersama-sama. Bersama esok yang mengiringi. Semoga!
Minggu-minggu pencarian makna yang lambat. Otak ini mendadak ompong, begitu istilah Cak Nun menyindir otak yang lambat diajak berpikir atau lambat memaknai tulisan beliau. Tercatat ada 10 Surat dari Al-Qur`an yang Dik Naz sampaikan. Ada yang melibatkan hanya satu ayat ada yang lebih dari satu ayat. Saya coba baca dan resapi hampir setiap hari. Setiap hari. Loading…hangLoadiiingg…hang! Begitu terus otak saya berproses. Karena ini Al-Qur`an! Nggak main-main! Sungguh!
Sepuluh surat dari Al-Qur`an tersebut adalah: An-Nas ayat 5 hingga 6, Al-Baqarah: 214, Al-Anfal: 62-63, Al-Hasyr: 14, Ar-Rum: 7, Al-Baqarah: 212, Al-Baqarah: 6 – 18, Al-Qashash: 55, Al-Maidah: 54, Al-Insyiroh: 1- 8
Sungguh saya bukan ahli tafsir. Saya awam. Saya bukan lulusan pondok pesantren, MTs ataupun MA. Saya hanya bisa membaca Al-Qur`an dengan standar tajwid sekenanya. Apalagi memaknai terjemahan Al-Qur`an, sungguh saya tidak ahli sama sekali. Saya hanya memiliki keyakinan cinta pada Al-Qur`an, mencoba sekuat tenaga mentadabburinya, mungkin suatu hari Allah kirim sinyal yang tak hanya 4G untuk kepala saya sehingga bisa memahami makna di balik ayat-ayat Al-Qur`an tersebut. GR saya kepada Allah. Atau setidaknya kali ini untuk mentadaburi 10 surat Al-Qur`an dalam Daur II-319. Dan berharap esok-esok tetap diberi sinyal minim 4G untuk bisa memaknai ayat-ayat-Nya dalam Al-Qur`an. Amin! Semoga!
Dari ayat-ayat tersebut saya tulis satu persatu, saya baca berkali-kali, berharap saripatinya bisa saya cerna dan serap. Maka beginilah tadabbur orang awam terhadap terjemahan Al-Qur`an. Saya yakin Cak Fuad atau Pak Quraish Shihab akan pusing tujuh keliling dengan ringkasan tadabbur ini. Namun setidaknya saya berusaha menangkap jejak arah tiap ayat di surat-ayat tersebut. Maafkanlah atas tadabbur ayat Al-Qur`an saya yang sekenanya dan mungkin ngawur ini.
Dimulai dengan ta’awudz dan langsung lanjut ke surat An-Nas ayat 5-6 di mana bermakna “…aku berlindung dari setan yang terkutuk yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia dari golongan jin dan manusia…”. Lalu diteruskan Al-Baqarah: 214 yang mengabarkan ujian-ujian kesengsaraan yang dialami kaum terdahulu, tentang dekatnya pertolongan Allah walau dirasa sungguh berat ujian yang didera.
Pada Al-Anfal: 62,Al-Baqarah: 6-18, menampakkan ciri-ciri orang kafir sejati, dari mereka yang ndablek pada ayat 6, mengunci mati hati mereka pada ayat 7, bilang beriman nyatanya tidak pada ayat 8, mereka menipu walau sebenarnya mereka menipu diri sendiri pada ayat 9. Allah tambahi penyakit mereka pada ayat 10, sedangkan pada ayat 11 mereka merasa melakukan dan berbuat baik padahal nyata-nyata mereka melakukan kerusakan di bumi, mereka nyata-nyata berbuat keburukan namun tak sadar tertera pada ayat 12, pada ayat 13 mereka merasa bodoh jika harus beriman. Bahkan mereka berani bermuka dua pada ayat 14. Allah akan balas mereka pada ayat 15. Mereka tak mendapat petunjuk pada ayat 16. Dan telak pada ayat 17, Allah umpamakan kegelapan telah Allah berikan pada mereka. Dan tulilah, bisulah, butalah mereka tertera pada ayat 18.
Intinya ayat-ayat pada surat di atas adalah menunjukkan tanda orang kafir. Tanda orang munafik. Orang amat sangat kuwalat kelaknya atas kekurangajarannya terhadap Tuhan dan lingkungan sekitar.
Pada surat-surat berikuti ini, sepertinya mulai masuk kepada surat yang agak menenangkan jiwa. Surat yang memiliki fungsi menghibur hati dan penuh akan asupan tenaga. Al-Anfal: 63 mengabarkan hati orang-orang beriman yang bersatu dan disatukan oleh Allah. Sehingga pada Ar-Rum: 7 nampak mereka orang-orang pengkhianat kafir itu terpecah-belah. Al-Hasyr: 14 mengabarkan justru mereka (orang kafir) akan terpecah-belah dengan sendirinya. Ar-Rum: 7, mereka lalai akan kehidupan akherat.
Namun pada Al-Qashash: 55, mereka para kafir itu berujar, “Elu…elu…gue…gue” terhadap peringatan-peringatan. Dalam Al-Maidah: 54 dikabarkan kepada kaum murtad bahwa Allah akan mendatangkan kaum yang mana Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah, dan mereka memiliki perangai lembut kepada mukmin dan berani berperang melawan kekafiran. Al-Insyirah: 1-8, Allah elus-elus hati kita agar terlepas dari gulana. Dalam surat ini dikabarkan tentang kelapanganMeringankan beban berat di punggung. Melenyapkan dosa. Bahkan dosa yang telah lalu. Meninggikan sebutan namamu (Rasulallah yang dimaksud) karena bersama kesulitan ada kemudahan hingga diulangi dua kali dan hanya kepada Allah-lah selayaknya kita senantiasa berharap.
Panah
Perisai
Akhirnya
Maka melayanglah panah-panah itu sebagai rancang bangun keangkuhan dan penyembahan terhadap berhala-berhala kekinian. Panah-panah itu adalah politik busuk dan bohong kepada publik. Panah-panah itu adalah lenyapnya akhlak di pendidikan kita. Panah-panah itu adalah acara-acara televisi penuh gosip, rekayasa berita, goyangan menggoda, serta berita-berita hoaks yang tersiar mutlak.
Panah-panah itu adalah sistem medis yang salah jalan dan merundung orang-orang miskin. Panah-panah itu adalah aurat multi dimensi yang dikeluarkan di khalayak ramai. Panah-panah itu adalah film-film biru easy access oleh anak-anak. Panah-panah itu adalah lagu dan musik penuh dengan kedangkalan. Panah-panah itu adalah pelecehan merajalela. Panah-panah itu adalah rusaknya silaturahmi manusia dengan alam.
Panah-panah itu adalah anak-anak yang terenggut jiwa kanak-kanak mereka. Panah-panah itu adalah hasutan perpecahan agama di medsos-medsos dan di masyarakat. Panah-panah itu adalah pemerintah yang menceraikan rakyatnya. Panah-panah itu adalah penuh sesak jutaan bahkan tak terbendung jumlah angka masalah konflik di bumi ini yang sekarang sedang merajalela. Panah-panah itu adalah dismakna pada segala aspek makna.
Panah-panah itu adalah kesalahkaprahan pada setiap aspek dan bidang pada diri manusia dari ujung rambut hingga ujung jempol baik jiwa dan raga sukma ruh spiritual. Merangsek pelan dan berat pada anak cucu Adam. Panah-panah itu… panah-panah itu… adalah… adalah… adalah yang bersarang di tubuh Mbah Markesot. Di tubuh kita semua!
Sekian tahun belajar, Pakde Tarmihim mengatakan, “…cukup lama sinau bareng, kini saatnya untuk kalian untuk mempelajari hal baru…” Kalimat itu berasa berat di punggung kami. Terdengar seperti mengemban sesuatu yang tak lazim, misterius dan miris.
Kukuat-kuatkan dan kuberanikan diri sungkem kepada Simbah (CakNun) untuk mendekati Mbah Markesot, yang masih bercengkerama dengan panah-panah itu di sujudnya. Sambil tersenyum secerah mungkin, semanis mungkin, semenghibur mungkin, kuupayakan, setidaknya satu panah dulu tercabut. Lantas kubuat perisai.
“Nnggg…anu Mbah, jangan khawatir, kami mulai membangun gerombolan pasukan cilik yang namanya Malik, Maiyah Cilik. Baru rintisan. Perisai baru agar kelak tak mengenai tubuh kami. Anak cucumu Mbah. Anak cucu kita semua. Perisai yang kami upayakan membangun pelan-pelan nilai-nilai baik, kami upayakan berstandar manusia sejati dan arif, agar pasukan cilik ini kelak menjadi manusia yang sesungguhnya. Bahkan hal ini kami berlakukan pada para ibu juga. Biar bijak kuat mendampingi anak-anaknya di era gerah ini!”
Satu panah saya cabut lagi, dan kami buat perisai berbentuk lingkaran.
“Kami akan buat perisai yang mengokohkan lingkaran-lingkaran Mbah, baik kepada siapa saja, don’t be worry, doakan kami ya Mbah Nun, Mbah Markesot.”
Lantas panah ketiga saya cabut. Perisai belum juga usai dibuat. Semampu-mampu kucabut panah keempat, kelima, keenam dan seterusnya… seterusnya. Dan sesegera sejeli mungkin kumembuat perisai bersama karib setia di sekitarku. Terus, terus dan terus, walau peluh letih nian saya dan kawan-kawan tak peduli. Mencabut dan membuat perisai demi perisai satu persatu. Terus dan terus. Sebisa-bisanya. Dan sekuat tenaga.
“Dan maafkan, baru beberapa panah ini yang mampu kami cabut. Baru beberapa perisai ini yang sanggup kami buat. Itu pun terkadang perisai kami lemah dan remuk. Namun kami tak patah arang. Kami akan terus cabuti panah itu dan membuat perisai senantiasa. Semoga terus dan terus lahir generasi superhero pembuat perisai yang memiliki keberanian menangkis dan mencabut panah-panah yang lain yang masih berjumlah ratusan itu…,” kutahan-tahan air mata ini.
Dan…”Glonthanggggg……” suara gelas seng jatuh dari meja tersenggol kaki kucing kami yang molet dari tidurnya. Ah buyar lamunan cita-citaku. Btw, siapalah aku, siapalah kami yang GR dan PD mencabuti panah di tubuh Mbah Markesot. Ah… pantas saja anak-anak panah berhamburan menghujani badan Mbah Markesot. Karena Mbah Markesot cekoki mereka jamu Tahlil, Tauhid dan tenaga Takbir. Yang adalah cecap pahit bagi lidah dan hati mereka. Terlebih terdapat ayat-ayat gagah yang mengabarkan sebuah generasi kokoh pada Al-Maidah: 54. Sebuah generasi yang akan berdiri dan menjanjikan memperbaiki hal-hal yang terserak-serak ini. Inikah yang dimaksud Cak Nun sebagai ‘qoumun akhor’ di Daur I-104 tanggal 16 Mei 2016. Pasukan yang aku lamunkan tadi yang akan membuat perisai-perisai. Yang Allah anugerahi penuh cinta kepada Allah dan Allah pun mencintai mereka. Yang memiliki nyali untuk menuntaskan kemorsalan dan keruwetan di sekitar kita. Yang Allah elus-elus batinnya dalam Al-Insyiroh: 1-8. Yang semoga akan benar-benar terlahir.
Pakde Tarmihim di akhir tulisan Daur ini mengajak kembali meng-Islami kembali hidup kita semua.
Inilah kekafahan yang sebenarnya. Menyeluruhi Islam dalam setiap aspek hidup. Menyelamatkan tiap jejak langkah hidup kita dalam segala-galanya. Dan Daur diakhiri dengan surat Ali-‘Imran: 19.
Bagi saya pribadi. Ini tulisan daur terpendek namun terlengkap secara multidimensionalnya. Tulisan ini menyosialkan sekaligus menauhidkan batin kita untuk senantiasa perkasa di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin tenggelam langkah moralnya. Saya tidak tahu apakah tadabbur saya akan Daur ini benar atau salah. Namun saya berkeyakinan bahwa perisai-perisai anak-anak Maiyah akan segera merajalela dan membentengi serangan-serangan.
Maiyah Cilik, Maiyah Ahibba (wanita) dan entah Maiyah remaja atau pasukan Maiyah atau Maiyah jenis entahlah apalah pasti segera melahir. Dan beranak pinak memenuhi telaga cahaya.
Amin.