Empat dalam bahasa jawa “ngoko” yakni salah tingkatan bahasa yang
paling umum dipakai dalam keseharian
disebut “papat”. Lantas berubah
menjadi “sekawan” pada bahasa jawa “krama”, tingkatan bahasa jawa halus,
yang digunakan untuk bahasa bercakapan dengan orang yang lebih tua atau
orang yang dihormati. Sekawan (empat)
memiliki makna tersendiri bagi Waro’ Kaprawiran, meski Agustus 2018 ini baru
memasuki tahun yang ke tiga. Ada empat wilayah yang menyatu dalam Waro’
Kaprawiran. Empat wilayah dengan keunikan dan kelangkaan karakter
masing-masing. Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo. Sehingga boleh dibilang Waro’ Kaprawiran
adalah empat sekawan. Sekawan bukan lagi bermakna empat namun men “satu” dalam
perkawanan.
Boleh jadi benar kata filsuf, Homo humini socius, manusia adalah
kawan bagi sesamanya. Kodrat manusia, sebagaimana disebut dalam ilmu sosial,
karena keterbatasannya tidak dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan bantuan
sesamanya. Contoh paling sederhana bagaimana pola ketergantungan individu terhadap
individu lain adalah seorang petani ahli mengolah tanah, butuh pandai besi yang
ahli menempa besi sebagai senjatanya dalam bercocok tanam, butuh penjahit
yang lihai mendesign kain menjadi
pakaian yang melindunginya saat bekerja, bahkan butuh “kanca wingking” atau istri sebagai (minimal) sarana penerus
keturunan. Hal ini berlaku pula bagi pandai besi dan penjahit, karena
masing-masing memiliki keterbatasan. Keterbatasan dipertemukan dengan
keterbatasan akan menjadi interaksi yang saling menguntungkan. Simbiosis mutualisme istilah kerennya. Lantas bolehkah contoh di atas kita shortcut, bahwa unsur untung dan rugi
menjadi landasan pertimbangan dalam sekawan? Asal menguntungkan kita sekawan,
sekoalisi, jika merugikan maka kita pecah kongsi dan menjadi oposisi. Dalam
etika moral tentu kita akan menjawab tidak, karena kawan sejati tidak mengenal
untung dan rugi dalam berinteraksi.
Namun kenyataan, sangat sangat susah untuk menemukan kawan sejati.
Atau mungkin begitu berat untuk menjadi kawan sejati, Sehingga kita lebih
memilih posisi mencari dari pada menjadi. Jika kita dalam proses mencari
pehamanan, apa yang kita jadikan pegangan dalam memilih kawan sejati? Apakah kawan sejati yang akan kita pilih
menjadi sekawan dengan kita harus yang seiman, pasti selawan, wajib sejalan?
Atau kita kembali akui saja bahwa pada akhirnya cukup dengan pertimbangan
untung dan rugi sebagai tolok ukurnya.
Bagi empat sekawan Waro’ Kaprawiran, yang merasa ormas bukan,
parpolpun tidak, sudah selesaikah dalam bersekawan? Atau masih membuka ruang
untuk bersekawan dengan ormas, parpol, atau dengan siapapun dan apapun? Atau
kita cukupkan saja dan kita pastikan saja kita oposisi terhadap mereka.
Homo humini lupus yaitu
manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Mungkin semangat ini bisa kita
jadikan alasan kehadiran kita di Acara Raya Waro’ Kaprawiran, 18 Agustustus
2018 di Plataran Subterminal Tambak Bayan Ponorogo. Sembari bersyukur telah
diperjalankan dan dipertemukan hingga
dibersekawan selama 3 tahun, juga sembari sinau bareng mematikan srigala
dalam diri kita masing-masing agar tidak menserigalai orang lain. Barang kali
dengan demikian kita bisa menjadi nggeh
tentang kawan sejati dan sejatinya kawan.
Sosial Media