Kabut gelap tengah menyelimuti langit negeri ini, belum juga terobati duka mendalam akibat gempa bumi di Lombok bulan juli kemarin, Indonesia kembali harus mengalami guncangan dengan ganasnya Gempa dan Tsunami di Palu akhir September lalu. Seolah alam memberi peringatan dan memaksa manusia untuk segera menyerah dan pasrah bahwa tak ada satupun manusia yang bisa menolong mereka, kecuali Allah dan Syafaat Nabi Muhammad SAW. Pemandangan kelam ini ternyata berbanding lurus dengan kondisi masyarakat pada umumnya, Demokrasi yang kita harapkan belum tercapai sepenuhnya, perjuangan untuk bebas dari totalitarianisme dengan jalan reformasi dibajak masuk kearah oligarki oleh para pemilik modal ditingkat Internasional, Nasional, dan Lokal. Pertikaian antar partai politik seakan tidak ada habisnya, dan menjadi wajah buruk bangsa saat ini. Tak pelak masyarakat pun kehilangan kepercayaan mereka terhadap pemangku kepentingan.
                                  
Belum lagi, agama yang seharunya bisa membentuk kepribadian para penganutnya menjadi lebih baik seakan berbalik, agama justru menjadi sumber pertikaian. Agama yang dulu dimaknai sebagai suatu wadah yang bisa membawa diri kita berada di wilayah Tuhan, sekarang malah menyebabkan jarak antara manusia dengan Tuhan menjadi semakin menjauh, bahkan manusia sekarang seolah tak mampu mengakses ke wilayah Tuhan, jika tanpa persetujuan para pemimpin-pemimpin umat. Hal ini bermula atas hasrat dan nafsu manusia untuk tampil paling hebat di hadapan masyarakat. Para dedengkot golongan agama berlomba–lomba supaya memperoleh status pengakuan paling hebat, paling benar di mata publik. Alih-alih berbuat kebaikan, ternyata usahanya tersebut semata-mata ditujukan supaya mendapat status pengakuan paling hebat dari yang lain. Kecenderungan untuk memburu kehebatan diri, menjadikan mereka terlena akan kritik dan merasa selalu paling benar atas setiap yang dilakukannya. Bisa jadi, pada saat kondisi ekstrim mereka akan menuhankan kemampuan dirinya sendiri. Tak salah bila Hak asasi Allah Sebagai pemilik otoritas terhadap mahlukNya, telah dikudeta oleh golongan–golongan yang menuhankan diri mereka di depan umat, dengan menutup pintu rapat-rapat hubungan mesra antara manusia dengan Tuhanya, mereka mensertifikasi dirinya menjadi wakil tuhan di dunia, seolah-olah hanya atas izin mereka manusia bisa mendapat cinta, berkah, dan ridho dari Allah.

Di tengah hadirnya gelombang besar kehancuran ini, tanpa disadari tumbuh benih–benih cahaya baru. Mereka tumbuh dari rasa putus asa akan tekanan hidup yang semakin berat, dari ketidakmampuan para pemimpin mengatasi egonya untuk tidak bertikai dan dari serbuan berita-berita Hoax yang tak dapat lagi dibedakan mana berita yang asli dan yang palsu. Masyarakat sudah berkali-kali kena tipu, tak salah bila kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin-pemimpin mereka telah mulai menghilang. Dengan mendapat bimbingan dan diberi RUANG tersendiri oleh Allah benih cahaya itu tumbuh, seolah berada pada ruangan hampa, mereka dibisukan, ditulikan, dan dibutakan oleh berita –berita hoax tersebut. Benih-benih itu adalah para masyarakat yang terpinggirkan dan dianggap seolah tidak ada, benih-benih itu adalah para petani, para nelayan, para buruh-buruh, para pekerja kasar dan para anak-anak muda zaman now. Meskipun tak seberapa jumlahnya mereka tetap berupaya dan fokus pada bidangnya masing-masing serta memasrahkan, memercayakan, dan mengikhlaskan hasil akhirnya hanya pada Allah. 

Menjadi tamparan dan pelajaran bagi kita semua, masyarakat kecil itu mengajari kita bagaimana cara beragama yang sesungguhnya, bagaimana berada secara terus-menerus di wilayah Tuhan. Sebagai contoh, seorang petani dikala memasuki musim tanam tiba, mereka harus menggadaikan tanahnya ke bank, koperasi, rentenir, atau yang lainya untuk mendapatkan modal tanam mereka, namun ketika memasuki musim panen tiba, mereka harus menerima jika harga jual hasil panen sangat murah, sehingga mengalami kerugian bahkan samapai tidak mampu untuk mengembalikan pinjaman modal tersebut. Meskipun begitu para petani itu tidak lantas berhenti untuk menjadi petani, mereka tetap setia untuk terus menanam dan memasrahkan hasilnya pada Allah. Selain itu, masih banyak lagi contoh-contoh kecil disekitar kita yang merupakan implementasi dari agama yang sesungguhnya. Dan tanpa disadari para masyarakat petani, nelayan, buruh-buruh, pekerja kasar, maupun anak-anak muda zaman now itu telah merealisasikan apa yang disebut Tiga Dimensi Agama (3D), yaitu tentang Al-Islam atau penyerahan diri dan kepasrahan; Al-Iman atau Kepercayaan; dan Al-Ihsan atau aktualisasi diri.

Untuk itu, mari kita duduk melingkar bersama, kita gali hal-hal kecil dan sederhana di sekitar kita yang mungkin bisa menjadi pelajaran dan perenungan, agar kita lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Serta menjalani agama sesuai apa yang telah dituntunkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW, bahwa agama adalah sesuatu yang telah ada pada diri kita serta bisa membentuk diri kita berada diwilayah Tuhan, dan berpengaruh pada kehidupan kita sehari-hari.